Perkenalkan dahulu, namaku Darminto.
Aku adalah salah satu dari sekian banyak orang yang menyebut dirinya
dengan istilah keren "paranormal" atau yang dilingkungan masyarakat
kebanyakan dikenal dengan istilah dukun.
Ya, aku adalah orang yang bergelar mbah dukun,
meskipun sebenarnya aku sama sekali tidak percaya dengan segala hal begituan.
Aneh? nggak juga. Semenjak aku kena PHK dari perusahaan sepatu tiga
tahun lalu, aku berusaha keras mencari pekerjaan pengganti. Beberapa
waktu aku sempat ikut bisnis jual beli mobil bekas, tetapi bangkrut
karena ditipu orang. Lalu bisnis tanam cabe, baru sekali panen harga
cabe anjlok sehingga aku rugi tidak ketulungan banyaknya. Untung orang
tuaku termasuk orang kaya di kampung, jadi semuanya masih bisa
ditanggulangi. Cuma aku semakin pusing dan bingung saja. Untung aku
belum berkeluarga, kalau tidak pasti tambah repot karena harus
menghadapi omelan dan gerutuan istri.
Dalam keadaan sebal itulah aku bertemu dengan mbah Narto, kakek tua yang
dengan gagahnya memproklamasikan diri sebagai paranormal paling top.
Karena masih berhubungan keluarga, ia sering juga datang dan menginap di
rumahku ketika dia lagi "buka praktek" di kotaku. O ya, aku tinggal di
sebuah kota kecamatan kecil di Jawa tengah, dekat perbatasan jawa Timur
(nggak perlulah aku sebut namanya). Meskipun kecil, kotaku termasuk
ramai karena dilewati jalan negara yang lebar dan selalu dilewati truk
dan bus antar propinsi, siang dan malam.Eh, kembali ke mbah Narto,
tampaknya si mbah punya perhatian khusus kepadaku (atau malah karena aku
memang kelihatan sekali tidak menyukai dan sinis terhadap gaya
perdukunannya?). Suatu hari ia berbicara serius denganku, mengajakku
untuk menjadi "murid"nya. Walah, aku hampir ketawa mendengarnya. Murid?
wong aku sama sekali tidak percaya segala hal takhayul macam itu,
kok mau diangkat menjadi murid? tetapi segala keraguanku tiba-tiba
hilang ketika mbah Narto menjelaskan: "punya ilmu ini bisa buat cari
uang, Dar." Katanya: "apa kamu tahu berapa penghasilan dukun-dukun itu?
Mereka kaya-kaya lho. Meskipun ilmunya, dibandingkan dengan ilmu mbahmu
ini, masih cetek banget." Katanya dengan meyakinkan dan mata melotot.
Aku menggaruk kepalaku. Apa benar? Akhirnya aku tertarik juga. Meskipun
tetap dengan ogah-ogahan dan tidak percaya, aku ikut juga menjadi
muridnya. Naik turun gunung, masuk ke goa dan bertapa (ih, dinginnya
minta ampun) dan dipaksa berpuasa mutih (cuman minum air dan nasi putih
doang), empat puluh hari penuh. Terus terang, aku tidak merasa
mendapatkan pengalaman aneh apapun selama mengikuti segala kegiatan itu.
Tetapi setiap mbah Narto menanyakan "apa kamu sudah ketemu jin ini atau
jin itu" atau "apa kamu melihat cahaya cemlorot (bahasa Indonesia:
berkelebat)" waktu aku bersemadi, yah aku iyakan saja. Kok susah ? susah
amat.Akhirnya, setelah enam bulan berkelana, mbah Narto menyatakan aku
sudah lulus ujian (wong sebenarnya aku tidak tahu apa-apa). Dan dia
memperkenalkan aku sebagai assistennya untuk menyembuhkan pasien dari
berbagai penyakit yang "aeng-aeng" alias aneh-aneh. Bahkan setelah
beberapa lama aku dipercaya untuk buka praktek sendiri, di rumahku,
dengan mempergunakan kamar samping rumah sebagai tempat praktek
(meskipun aku harus membuat Yu Mini kakakku marah-marah karena meminta
dia pindah kamar tidur).Setelah beberapa bulan praktek, nasehat mbah
Narto ternyata benar (ini satu-satunya nasehatnya yang benar, aku kira):
bahwa jadi dukun itu banyak duit! aku baru sadar bahwa salah satu
syarat untuk menjadi dukun yang sukses bukanlah terletak pada ilmunya
(yang aku nggak percaya sama sekali), tetapi pada kemampuannya untuk
meyakinkan pasien. Dukun adalah aktor yang harus bisa membuat pasien
setengah mati percaya dan tergantung padanya, dengan segala cara dan
tipu daya.Pada mulanya beberapa orang datang minta tolong padaku,
katanya menderita sakit aneh, pusing-pusing yang tidak tersembuhkan. Aku
dengan lagak meyakinkan memberikan mantra, menyuruh mereka menghirup
asap dupa, dan minum air kembang (di dalamnya sudah kucampur gerusan
obat Paramex). Eh.. mereka sembuh. Dan sejak itulah pasien datang
membanjir padaku.
Ada yang minta disembuhkan sakitnya (kebanyakan aku suruh mereka ke
dokter dulu, kalau nggak sembuh baru kembali. Sebagian besar memang
tidak kembali), ada yang minta rejeki (itu mah gampang, tinggal didoain
macem-macem) ada pula yang mengeluhkan soal jodoh, pertengkaran keluarga
dan lain-lain (kalau itu tinggal dinasehatin saja).Jadi inilah aku,
mbah Dar, dukun ampuh dari lereng Merapi (lucu ya, aku dipanggil mbah
wong umurku baru 25 tahun). Setiap hari paling sedikit sepuluh orang
antre di rumahku, dari siang sampai malam. Begitu ramainya sampai
akhirnya halaman depan rumahku dijadikan pangkalan ojek. Tidak
kuperdulikan lagi omelan mbakyuku dan pandangan sinis orang tuaku
(mereka selalu menasehati: hati-hati lho Dar, jangan mbohongi orang).
Yang penting duit masuk terus, jauh lebih besar daripada gajiku saat
masih bekerja di pabrik sepatu. Dengan ilmu yang asal hantam, tampang
yang meyakinkan (aku sekarang pelihara jenggot panjang,
pakai jubah putih kalau praktek) maka orang-orang sangat percaya kepadaku.
Semuanya berjalan lancar-lancar saja, sampai terjadi suatu kejadian yang meruntuhkan segala-galanya.
Malam itu, jam sudah menunjukkan pukul 20.00 malam. Pasien sudah sepi,
dan aku sudah merasa sangat mengantuk. Sambil menguap aku berdiri dari
"meja kerja"ku, menuju pintu dan bermaksud menutupnya. Tetapi kulihat si
Warno sekretarisku menghampiri: "ada pasien satu lagi mbah" bisiknya:
"cah wadon (anak perempuan) huayuu banget". Dia nyengir dan menunjuk
pelan ke ruang tunggu di depan. Di sana aku melihat seorang gadis dengan
memakai T shirt putih dan rok warna coklat duduk di bangku. Aku tidak
melihat wajahnya karena dia sedang memperhatikan TV yang memang
kusediakan di situ."Masuk, nduk" kataku dengan suara berwibawa. Si gadis
itu pelan-pelan berdiri, dan dengan takzim berjalan kearahku. Aku
sekarang dapat melihat wajahnya dengan jelas. Aduh mak, dia memang
betul-betul cantik. Rambutnya yang sebahu bewarna hitam lurus, matanya
seperti mata kijang dan bibirnya seperti delima merekah (walah, puitis
banget..).
Tubuhnya bongsor dengan buah dada yang seperti akan memberontak keluar
dari baju T-shirtnya. Aku kira umurnya paling banter baru 17 atau 18
tahun.
"Sugeng dalu (selamat malam) mbah.." katanya agak bergetar. Wuih,
suaranya juga seksi banget. Kecil dan halus, seperti berbisik. Dengan
lagak kebapakan aku menyilahkannya masuk, diiringi sorot mata nakal si
Warno yang seperti akan menelan bulat-bulat si gadis itu. Kupelototi dia
sehingga dia cepat-cepat lari ngibrit sambil terkikik-kikik. Aku segera
menutup pintu.Kulihat si gadis duduk dengan sangat hormat di kursi
pasien yang kusediakan. Tangannya ngapurancang di pangkuannya, wajahnya
menunduk. Cantik sekali. Dengan pura-pura tidak acuh aku menyiapkan
alat-alat perdukunanku, menyalakan lampu minyak (sebagai media pemanggil
arwah, pura-puranya), menyiapkan baskom kecil berisi air kembang, dan
menyalakan dupa. Asap dupa segera memenuhi ruangan kecil itu.
"Siapa namamu, nduk?"tanyaku tanpa memandangnya, tetap sibuk melakukan persiapan.
"Suminem, mbah" katanya. Wah, nama lokal betul.
Aku berdeham: "berapa umurmu? "
Si cantik itu menjawab pelan, tetap menunduk: "empat belas tahun, mbah".
Wah, aku hampir terlonjak kaget. Empat belas tahun? masih kecil banget,
tetapi bagaimana kok tubuhnya sudah demikian bongsor, dadanya sudah
demikian besar..
Aku menelan ludah: "bocah cilik begini kok beraninya malam-malam datang
ke sini. Ada masalah apa nduk?" aku sekarang duduk di kursi di depannya,
dibatasi meja yang penuh segala pernik perdukunan. Si Suminem sekarang
mengangkat kepalanya, raut wajahnya tampak sangat gelisah. Matanya
jelalatan ke kiri kanan. Suaranya yang kecil bergetar: "nyuwun sewu
mbah, sebetulnya saya sangat gelisah dan takut. Nyuwun tulung mbah.."
suaranya semakin rendah dan bergetar, seperti sedu sedan.Kemudian dengan
cepat dan dengan suara tetap bergetar, dia bercerita bahwa ada seorang
laki-laki, bernama Kasno, yang sangat ditakutinya. Kasno adalah
tetangganya yang sudah punya istri dua dan anak segerendeng, tetapi
masih hijau matanya kalau melihat cewek cantik. Karena rumahnya
sederetan dengan rumah Suminem, tiap hari dia bisa melihat Pak Kasno
memandangnya seperti tidak berkedip. Lebih celaka lagi, karena kamar
mandi rumahnya menjadi satu dengan kamar mandi rumah Pak kasno,
maka semakin besar kesempatan lelaki hidung belang itu mencuri pandang
pada tubuhnya yang bahenol itu. Bahkan pernah suatu hari Suminem
berteriak ? teriak dan lari keluar dari kamar mandi, karena ketika ia
sedang mandi melihat kepala Pak kasno mengintip dari bagian atas kamar
mandi yang memang tidak tertutup. Itu saja belum cukup. Hingga suatu
hari.."Pak Kasno tiba-tiba mendatangi saya, mbah" katanya. Si hidung
belang itu katanya bicara baik-baik, bahkan sangat kebapakan. Tetapi
yang membuat Suminem kaget, dia tiba-tiba mengeluarkan sebotol kecil
air, entah apa itu. Dengan sangat cepat si hidung belang memercikkan air
di botol itu ke wajah dan tubuh Suminem. Tentu saja si gadis kecil nan
bahenol itu berteriak, tetapi Pak kasno cepat-cepat minta maaf dan
dengan lembut memberi penjelasan: "Enggak apa-apa, Nem, itu tadi cuma
air kembang kok. Bapak ini lagi belajar ilmu kebatinan, jadi bapak
mengerti cara-cara untuk membahagiakan orang.
Bener lho Nem, nanti setelah kena air tadi kamu akan merasa bahagiaa sekali". katanya tersenyum.
Suminem tentu saja semakin kesal: "bahagia bagaimana to Pak?" tanyanya:
"Wong sudah mbasahin baju nggak bilang-bilang, masih juga mbujuk-mbujuk
segala."pak Kasno katanya hanya tersenyum senyum saja dan menjawab:
"wong bocah cilik, durung ngerti (belum mengerti) roso kepenake wong
lanang (rasa enaknya laki-laki) Nduk, nduk, nanti saja kamu kan tahu"
dan dengan bicara begitu si hidung belang ngeloyor pergi.Setelah
kejadian itu "Pikiran saya jadi bingung, mbah" cerita Suminem: "setiap
malam saya menjadi terbayang wajahnya Pak Kasno, sepertinya dia itu mau
menerkam saya saja" dia bergidik ngeri: "malah saya sampai mimpi.." Dia
tidak melanjutkan. Aku pura-pura menghela napas penuh simpati.
Sebenarnya, kalau saja yang bicara ini bukan gadis sebahenol Suminem
pasti aku sudah menyuruhnya angkat kaki. Bosen. Tapi melihat anak
secantik ini, waduh, kok tiba-tiba.. rasanya ada yang berteriak-teriak
di balik celanaku..
Jangkrik tenan, pikirku. Rasanya aku mulai terangsang pada gadis ini.
"Teruskan Nduk" kataku penuh wibawa: "kamu mimpi apa?"
Suminem menggigil. Suaranya tersendat-sendat: "aduh mbah, nyuwun sewu,
mbah, saya lingsem (malu) banget.." Wah, ini dia. Dengan gaya kebapakan
(kok sama dengan ceritanya soal si hidung belang Kasno itu?), aku
berdiri dan mendatangi dia, duduk di sebelahnya dan memeluk pundaknya.
Lembut dan hangat. Nafsuku tambah naik: "wis, wis" kataku menenangkan:
"ora susah bingung. Ceritakan saja. Si mbah ini siap mendengarkan
kok".Akhirnya setelah mengatur napas, Suminem melanjutkan: "anu.., saya
sering mimpi, lagi di anu sama Pak Kasno. Bolak balik mbah, bahkan
hari-hari terakhir ini rasanya semakin sering". Aku berusaha menahan
tawa: "dianu kuwi opo karepe (apa maksudnya) to Nduk?" dia tampak
semakin malu: "ya itu lho mbah..seperti katanya kalau suami istri lagi
dolanan (bermain) di kamar itu lho.. katanya mbak-mbak saya seperti
itu". Waa..nafsuku semakin meningkat tajam. Tambah kugoda lagi (meskipun
tetap dengan mimik muka serius, bahkan penuh belas kasihan): "coba to
ceritakan yang jelas,
seperti apa yang dilakukan si Kasno dalam mimpimu itu?"
Akhirnya si Suminem ini tampaknya berhasil menguatkan hatinya. Suaranya
lebih mantap ketika menjelaskan: "pertamanya. Saya ngimpi Pak Kasno
berdiri di depan saya, wuda blejet (telanjang bulat). Terus, saya
tiba-tiba juga wuda blejet, terus.. Pak Kasno memeluk saya, menciumi
saya, di bibir dan di badan juga.." dadanya naik turun, seakan sesak
membayangkan impiannya yang luar biasa itu.
Aku semakin panas mendengar ceritanya itu: "apanya saja yang dia cium,
Nduk?" tanyaku. Suminem tampak malu "di sini, Mbah" katanya sambil
menunjuk buah dadanya: "di cium dan disedot kanan kiri, bolak balik.
Terus ke bawah juga.." Ke bawah mana, tanyaku: "ke..ini Mbah, aduh,
lingsem aku. Ke ini, tempat pipis saya. Di ciumi dan dijilati juga.."
dia semakin menunduk malu. Suaranya terhenti. Nah, tiba-tiba ada pikiran
licik di otakku. Segera aku bertindak."KASNO KEPARAT!" teriakku
tiba-tiba. Aku meloncat berdiri, diikuti si Suminem yang juga terlonjak
kaget mendengar bentakanku: "Mbah.. Mbah.. kenapa Mbah?" tanyanya
bingung.
Aku sekarang berdiri di depannya, tanganku memegang pundaknya. Suaraku
penuh ketegasan tetapi juga bernada kuatir: "Nduk, Nduk, kamu dalam
bahaya besar. Si kasno itu pasti sudah nggendam (menyihir) kamu. Mimpimu
itu baru permulaan dari ilmu gendamnya. Setelah ini kamu akan semakin
terbayang pada wajahnya, sampai lama-lama kamu tidak akan bisa berpikir
lain selain mikirin dia. Lalu, dia tinggal menguasaimu saja.."mataku
mendelik: "mesakake banget (kasihan sekali) kowe Nduk.." si Suminem
tampak sekok (shock) berat mendengar ucapanku yang meluncur seperti
senapan mesin itu: "terus bagaimana Mbah, tolong saya Mbah.." katanya
seperti orang setengah sadar.Aku menghela napas panjang,
menggeleng-gelengkan kepala: "berat, Nduk. Aku bisa menolongmu, tetapi
itu sangat berbahaya. Bisa-bisa ilmu gendamnya berbalik kepadaku. Bisa
mati aku." Kulihat matanya membelalak penuh kengerian: "jadi.. lalu
bagaimana Mbah? Apa yang harus saya lakukan?" tanyanya dengan suara
bergetar.
Aku sekarang memeluknya (aduh, badannya betul betul bahenol. Kenyal dan
hangat): "ya sudah Nduk, aku kasihan kepadamu" kataku kebapakan: "aku
akan mencoba menolongmu, dengan sepenuh ilmuku. Pokoknya, kamu harus mau
nglakoni (melaksanakan) semua perintahku, ya Nduk. Kamu bersedia ya
Nduk?" kurasakan tubuh dalam pelukanku itu bergetar. Kudengar ia terisak
pelan: "matur nuwun sanget Mbah.. saya sudah ndak bisa mikir
lagi.."Kulepaskan pelukanku. Sekarang suaraku berubah penuh wibawa:
"sekarang, untuk menghilangkan ilmu hitam itu, kamu harus nglakoni
persis sama dengan mimpimu itu" kataku: "buka bajumu, Nduk". Ku lihat
matanya terbeliak heran, tetapi segera meredup dan dia menghela napas:
"inggih Mbah, sakkerso (terserah) kulo nderek kemawon (saya ikut saja)".
Dan dengan cepat ia membuka kaos T-shirtnya, meletakkan di kursi. Aku
menelan ludah. Branya putih, berkembang-kembang. Buah dadanya putih
sekali, menggelembung di belakang bra yang tampak agak kekecilan itu.
(baru 14 tahun kok sudah besar banget ya? Pikirku. Jangan ? jangan anak ini kebanyakan hormon pertumbuhan).
Sekarang ia membuka roknya, merosot di lantai. Ia berdiri di depanku,
tetap dengan sangat hormat. Tangannya ngapurancang di depan celana
dalamnya. Dia memandang padaku dengan polos: "Sudah, Mbah" katanya. Aku
mendeham: "belum Nduk" kataku: "Aku bilang semuanya. Buka juga pakaian
dalammu. Ilmuku nggak bisa masuk kalau bagian tubuhmu yang diciumi si
bangsat itu masih terhalang kain". Suminem tampak sangat bingung, hampir
semenit dia berdiri terpaku dengan berkata apapun. Tetapi akhirnya dia
menghela napas, dan mengulangi perkataannya tadi: "inggih Mbah, kulo
nderek" dan dengan cepat ia membuka kaitan branya, dan sebelum kain itu
jatuh ke lantai dia melanjutkan membuka celana dalamnya. Sekarang dia
benar-benar wudo blejet (telanjang bulat) di depanku.Nah pembaca, karena
cerita ini adalah untuk konsumsi sumbercerita.com, maka saya wajib
menceritakan detail mengenai sosok indah di depanku ini. Si Suminem ini
sangat cantik
(kok agak mirip aktris Dian Nitami ya?) kalau tinggal di Jakarta dia
pasti sudah jadi rebutan cowok atau masuk jadi bintang sinetron.
Tubuhnya tidak terlalu tinggi (mungkin 158 cm), kulitnya sungguh halus,
kuning agak keputih-putihan. Buah dadanya segar mengkal dengan puting
berwarna coklat kemerahan, terlihat agak menonjol ke luar. Pinggangnya
bagus, meskipun agak sedikit gemuk di perut. Pahanya juga sangat mulus
meskipun agak sedikit buntek (nggak apa-apalah..nobodies perfect kata
orang Inggris). Nah, di bawah perutnya, di selangkangannya terlihat
segundukan kecil sekali bulu-bulu kemaluan, pas dan cocok dengan usianya
yang baru 14 tahun. Bulu-bulu itu belum mampu menutupi belahan
kemaluannya yang berwarna kemerahan, tampak agak nyempluk (menonjol) ke
depan.Haduuh biyuung.. aku terangsang berat. Kukedip-kedipkan mataku,
dan berkali ? kali aku menarik napas dalam-dalam untuk mengontrol
nafsuku.
Dengan gerakan ditenang-tenangkan aku mengambil gelas dan mengisinya dengan air kembang dari baskom di mejaku.
Aku mendekati dia: "bagian mana yang diciumi si Kasno dalam mimpimu
itu, Nduk?" tanyaku. Ia tampak berpikir sebentar, dan kemudian meunjuk
bibirnya: "ini Mbah, saya di sun di bibir", katanya. Tanpa ragu-ragu aku
mencipratkan air dalam gelas itu ke bibirnya. Aku kemudian menunduk ke
bawah, mulutku berkomat-kamit (sebenarnya aku tidak membaca mantera,
cuma mengitung satu tambah satu dua, dua taMbah dua empat dan seterusnya
dengan cepat). Kemudian aku menghela napas dan berkata: "aku juga harus
melakukan yang sama Nduk. Supaya ngelmu hitamnya bisa kesedot keluar".
Dan tanpa minta ijin lagi, kuseruduk mulutnya dan kucium dengan nafsu
berat.Kurasakan si Suminem berdiri kaku seperti kayu, tampak sangat
kaget dengan seranganku itu. Mulutnya terkunci rapat sehingga bibirku
tidak menyentuh bibirnya sama sekali. Aku jadi kesal: "buka mulutmu
Nduk, terima saja. Jangan takut, memang supaya melawan ilmu hitam ini
lakunya harus begitu", ia tersengal sengal: "Ing..inggih Mbah.."
Katanya.
Dan dengan canggung dia membuka mulutnya. Sekarang aku menciumnya lagi,
kini dengan lembut. Tidak ada perlawanan. Kulumat bibirnya, dan kusedot
ke luar. Lidahku masuk ke dalam rongga mulutnya, bergerak ke kiri kanan
tetapi tidak mendapat respons dari lidahnya. Tampaknya ia masih sangat
kaget dan bingung dengan tindakanku ini.Akhirnya, setengah kecewa,
kulepaskan ciumanku. Harus ada cara supaya dia terangsang, pikirku. Aku
bertanya: "mana lagi Nduk, yang dicium si Kasno?", Suminem sekarang
menunjuk belakang telinganya, dan jarinya turun menyelusur leher: "di
sini Mbah.." katanya. Sekali lagi aku memercikkan air bunga dari gelas
ke bagian yang ditunjuknya, dan mendekatkan mulutku ke belakang
telinganya. Kucium pelan-pelan, dan kupermainkan dengan lidahku. Tenang,
jangan terburu nafsu, pikirku. Kalihkan ciuman dan gesekan lidahku ke
lehernya yang mulus. Kukecup kecup halus. Aku merasakan napasnya mulai
naik. Nah, ini dia. Dia mulai terangsang.
"Bagaimana rasanya, Nduk?" bisikku. Dia tidak menjawab, tetapi napasnya
semakin menaik: "hegh..eemmh.." erangnya. Dan tiba-tiba dia menjauh
dariku. Wajahnya menunduk ke bawah: "kenapa?" tanyaku: "kamu rasa sakit
ya Nduk? pusing?" tanyaku penuh kebapakan. Dia menggeleng: "a..anu
Mbah.. rasanya keri (geli) sekali..". Aku pura pura tertawa lega: "naah,
kalau kamu nggak rasa sakit, cuma geli saja, artinya ilmunya memang
belum masuk terlalu dalam. Syukurlah. Sekarang Mbah teruskan ya. Mana
lagi yang di cium si kasno?" sekarang dia menunjuk buah dadanya: "di
susuku ini Mbah, dicium bergantian, kiri kanan.." Nah, ini dia.
Kupicratkan air kembang ke buah dadanya, dan dengan lagak sok yakin
kupegang kedua bukit indah itu. Sekali lagi aku menunduk ke bawah, mulai
komat-kamit membaca mantera matematikaku. Aku tampak sangat serius,
meskipun sebenarnya aku sekuat tenaga berusaha mengendalikan nafsuku
yang sudah tidak ketulungan berkobarnya.
Akhirnya aku menundukkan kepalaku: "harus kusedot, Nduk. Di sini
manteranya kuat sekali. Si Kasno bangsat itu sudah masuk dalam sekali ke
tubuhmu." Kulihat ia mengangguk, mekipun tampak masih sangat ragu.
Pertama kukecup buah dada kirinya, merasakan kelembutan kulitnya yang
sangat halus. Kecupanku berputar melingkar, hingga bagian bawah susu
yang mengkal itupun tak luput dari kecupanku. Akhirnya aku berhenti di
putingnya, kupermainkan sedikit dengan lidahku dan akhirnya kukulum
dengan lembut. Mulutku menyedot-nyedot barang indah itu dengan bernafsu,
dan lidahku menari-nari di putingnya. Kurasakan puting itu semakin
membesar dan mengeras. Sedangkan jari tangan kananku terus meremas ?
remas dada kanannya, mempermainkan putingnya secara berirama sama dengan
irama gerakan lidahku di puting kirinya.Nah, akhirnya pertahanan si
genduk Suminem bobol juga. Tubuhnya yang tadinya kaku seperti kayu,
sekarang terasa melemah. Tangannya memegang kepalaku, tanpa sadar
mengelus ? elus rambutku yang gondorong.
Mulutnya mendesis-desis dan menceracau pelan: "Mbah..aduuh Mbah..
jangan.. gelii sekali.. aduuhh.." tetapi aku tidak perduli lagi. Tubuh
Suminem terasa bergoyang- goyang, semakin lama semakin keras.
Kupindahkan kulumanku ke puting kanannya. Aku melihat ke atas, kulihat
kepala Suminem menunduk dalam-dalam sementara tangannya tetap memegang
kepalaku. Matanya tertutup rapat dan mulutnya juga terkatup rapat.
Ekspresinya seperti dia sedang mengejan atau menahan sesuatu yang sangat
nikmat.
Horee, aku berhasil! teriakku dalam hati. Jelas dia kini juga terangsang
berat. Semakin asyik saja nih, pikirku. Kini kulepaskan hisapanku di
susunya dan bertanya (pasti suaranya sudah tidak tampak berwibawa lagi,
tapi penuh nafsu): "terus, habis cium susumu, dia cium lagi di sini ya?"
tanyaku, sambil menunjuk pada kemaluannya: "i.. iya Mbah.." katanya
bergetar: "di pipis saya.. dicium terus dijilatin".Aku mengangguk pura
pura maklum, dan menghela napas seperti sedih dan terpaksa: "ya sudah
Nduk, karena begitu ya supaya pengaruh setannya hilang, Mbah juga
terpaksa harus melakukan yang sama. Coba kamu duduk di meja ini". Kataku
sambil membimbingnya duduk di meja praktekku. Dengan canggung dia
menurut: "buka lebar-lebar kakimu Nduk" kataku. Dia tampak bingung
sehingga harus kubantu. Kubentangkan paha kiri dan kanannya sehingga dia
duduk mengangkang di mejaku. Kini tampaklah kemaluannya dengan jelas,
kemaluan anak ABG yang baru ditumbuhi sedikit rambut. Warnanya kemerahan
dan sangat merangsang.
Jelas ini tempik (istilah khas daerahku) yang belum pernah dijamah
laki-laki. Mataku berkunang-kunang karena nafsu.Sekarang aku mengambil
kursi, meletakkan tepat di depannya. Aku duduk di kursi itu dan
mencondongkan tubuhku ke depan, sehingga wajahku sekarang berhadapan
langsung dengan kemaluannya, hanya berjarak sekitar sepuluh sentimeter.
Bau khas kemaluan perempuan menyebar dan tercium hidungku. Aku menelan
ludah: "agak naikkan bokong (pantat)mu Nduk, supaya Mbah gampang
nyiumnya" perintahku. Kini dia menuruti dengan patuh, mengangkat
pantatnya sehingga kemaluannya semakin lebar terbuka di depan wajahku.
Dengan lembut kugosok-gosok mahkota wanita itu dengan tanganku, ke atas
ke bawah dan sebaliknya. Kuremas-remas halus bulu-bulunya yang jarang,
dan akhirnya kukecup kelentitnya dengan bibirku.
"Aaggh.." Suminem mengerang (mana ada sih cewek yang kuat kalau
dibegituin?). aku semakin menggila. Kukecup-kecup kemaluannya dengan
gemas, dari bagian atas hingga bawah, lidahku menyelusuri belahan
kemaluannya dan menerobos bagian dalamnya yang berwarna merah muda dan
basah. Tubuhnya semakin menggelinjang. Napasnya terdengar semakin
memburu. Akhirnya kecupan dan jilatan lidahku berhenti di kelentitnya.
Kukecup-kecup terus kelentit yang tampak semakin membesar itu, dan
akhirnya kuhisap dengan kuat. Sambil menghisap, lidahku tetap dengan
aktif menjilati kelentit itu sementara tanganku terus mengelus elus
daerah bawah kemaluannya, kadang-kadang jariku menyelusup ke lobang
kemaluannya yang terasa semakin lama semakin basah.Suminem sama sekali
sudah lepas kontrol. Erangannya semakin keras (untung saja suara TV di
luar sangat keras dengan lagu dangdut, moga-moga erangannya tidak ada
yang mendengar). tubuhnya berkelojotan ke kiri ke kanan,
tangan kanannya menumpu ke meja sedangkan tangan kirinya memegang
kepalaku. Di remas-remasnya rambutku dan setiap kali kepalaku agak
merenggang, ditekannya lagi ke kemaluannya.Jangkrik, pikirku. Aku hampir
tidak bisa bernapas. Tetapi bagaimanapun suasananya sangat asyik. Aku
semakin tenggelam dalam permainan yang penuh nafsu ini. Kusungkupkan
kepalaku semakin dalam di selangkangannya. Tidak kupedulikan lagi bahwa
kursi dan meja reyot yang kami gunakan semakin kuat bergoyang dan
berderak-derak. Sampai akhirnya: "aakhh.. ad..uuh.. mbaah.. aku..aa.."
jeritan yang entah apa artinya itu meluncur keluar dari mulut si
bahenol, diikuti dengan semprotan cairan dari lobang kemaluannya. Basah
dan hangat, sebagian menempel di dagu dan jenggotku.Akhirnya kuangkat
kepalaku dari kemaluannya, dan kucium dahinya yang menunduk dengan napas
tersengal-sengal. Aku berbisik: "piye, Nduk? Kamu sudah merasa enakan
sekarang?" dia mengangguk: "i..iya Mbah.. enakan sekarang.." aku hampir
ketawa.
Goblok juga anak ini, sudah sekian jauh belum juga sadar kalau aku kerjain. Sekarang sampailah pada tahap selanjutnya, pikirku.
Tanpa basa basi aku melepaskan jubahku dan celana dalamku. Kulihat
wajahnya yang tadinya menunduk sayu sekarang terangkat, matanya
membeliak melihat aku sudah telanjang bulat di depannya. Aku harus akui
kalau badanku cukup atletis (wajahku juga nggak jelek-jelek amat lho,
terutama kalau janggut professionalku ini dicukur). Batang kemaluanku
(istilah di daerahku: kontol) lumayan besar, dan selalu jadi kekaguman
cewek-cewek yang pernah main seks denganku.
Mbah melihat dari pipismu tadi, ternyata ilmu gendamnya si Kasno sudah
masuk dalam sekali ke dalamnya. Mbah sudah coba sedot sedot tadi, tidak
mau keluar juga. Berbahaya sekali Nduk, nanti kalau dibiarkan jadi
ngabar (menguap) masuk ke pembuluh darahmu, bisa mati kowe. Mbah harus
mencoba cara yang lebih kuat. Agak sakit mungkin Nduk, nggak apa-apa
ya?" kataku penuh rasa sayang dan kasihan. Kuelus rambutnya yang
sekarang tampak awut-awutan. Dia mengangguk, mengulang lagi kata-katanya
yang bego tadi: "inggih Mbah, kulo nderek kemawon..". Aku
mengangguk-angguk: "anak baik. Kasihan sekali kowe Nduk".
Sekarang aku mengangkat tubuhnya yang sudah lemas dari atas meja, dan
dengan lembut membimbingnya ke dipan yang ada di sudut. Kubaringkan
tubuh bugil yang sudah lemas itu, dan dengan hati-hati kulebarkan
kakinya. Kini dia terbaring mengangkang, kemaluannya terbuka lebar
seakan siap menerima segala kenikmatan duniawi. Aku duduk berlutut,
kemaluanku sudah tegang betul dan kini terarah ke lobang kemaluannya.
Kugesek-gesek kepala jagoanku ke kelentitnya. Dia mengerang pelan,
matanya tertutup rapat. Kurendahkan tubuhku, kini aku telungkup di atas
badannya. Kukecup bibirnya dengan lembut: "sudah siap, ya Nduk. Agak
sakit, ditahan saja. Pokoknya Mbah usahakan kamu jadi sembuh betul". Dia
mengangguk, tidak membuka matanya: "inggih Mbah" desisnya lirih.Kini
aku memegang batang kemaluanku, dengan sangat hati-hati menusukkannya ke
kemaluan si Suminem yang masih basah kuyup bekas hisapanku tadi. Satu
senti..dua senti.. tiga senti.. sempit sekali.
Suminem mengerang: "ss.. sakit Mbah.." tampak wajahnya mengernyit
kesakitan. Tangannya memegang dan meremas lenganku. "Tenang
Nduk..tenang.. tahan sedikit.. nanti lama-lama sakitnya hilang, berganti
rasa enak".Aku harus mengakui, inilah lobang kemaluan ternikmat yang
pernah kurasakan. Sebelumnya aku hanya bisa bermain dengan
pelacur-pelacur, atau paling banter dengan si Jaetun janda muda yang
gatel di desa sebelah. Semuanya sudah melongo lubangnya, sama sekali
tidak enak. Tetapi yang ini, sungguh lezat, legit dan super sempit.
Dasar perawan.. kutekan agak keras kemaluanku, diikuti dengan teriakan
Suminem: "aauuwww.. saakiit Mbah.." aku cepat-cepat melumat bibirnya,
agar teriakannya tidak berkembang menjadi raungan..<Sekarang dengan
cepat dan akhli aku menekan kemaluanku, sekalian saja sakitnya pikirku.
Dan..bless..masuklah seluruh kemaluanku ke dalam lobang memeknya. Tubuh
Suminem terlonjak di bawahku, tangannya meremas lenganku sangat keras.
Matanya terbeliak, tetapi mulutnya tidak bisa memekik karena tersumpal
bibirku. Aku diam sejenak, menunggu lonjakannya hilang.Akhirnya dia
diam, hanya napasnya masih tersengal-sengal. Sekarang, setelah semua
tenang, kulepaskan ciumanku: "masih sakit, Nduk?" dia mengangguk: "tapi
lama-lama nggak perih kan?" dia mengangguk lagi. Lugu betul anak ini:
"Mbah terusin ya? tidak lama lagi kok". Sekali lagi dia mengangguk.
Kugoyangkan pantatku lagi pelan-pelan, tidak ada respon penolakan
darinya. Kogoyangkan lagi semakin kuat, dan tanganku mulai menggerayang
memainkan puting susunya. Dia mengeluh. Dia merengek. Jelas si Suminem
ini mulai menikmati permainan ini. Pinggulnya mulai ikut bergoyang,
meskipun agak kaku.Aku tidak berani merubah posisiku ini, takut kalau
dia kesakitan lagi. Goyanganku juga kuusahakan seteratur mungkin, tidak
terlalu cepat juga tidak terlalu lambat. Malah goyongannya yang semakin
lama semakin tidak teratur. Kepalanya bergoyang ke kiri dan ke kanan,
mulutnya mendesis-desis dan tangannya mencengkeram erat lenganku.
Matanya terpejam dan raut wajahnya menampakkan campuran kesakitan dan
kenikmatan yang sangat.Dipan bobrok ini mulai terdengar
berkeriet-keriet. Akhirnya terdengar proklamasi si Suminem, persis
seperti tadi: "aakhh.. ad..uuh.. mbaah.. aku.. aa.." dan kurasakan
cairan menyemprot di lobang kemaluannya. Akhirnya kepalanya terkulai
lemas ke kiri (sejak kami mulai main tadi, matanya terus terpejam). Aku
mengutuk dalam hati. Jangkrik, aku sendiri belum keluar nih. Kuperkuat
genjotanku, kufokuskan pikiranku pada kenikmatan yang kualami sekarang
ini. Kuremas-remas susunya semakin kencang. Dan akhirnya kurasakan
desakan dalam kemaluanku, desakan yang sudah sangat kukenal. Aku sudah
mau orgasme.Tetapi aku tidak ingin mengakhiri permainan ini begitu saja.
Kukeluarkan tembakan terkhirku: "Nduk, Nduk, Mbah rasa ajiannya si
Kasno sudah berhasil Mbah hilangkan.
Tetapi kau harus meminum ajian dari tubuh Mbah ya? supaya kamu kebal
terhadap segala ngelmu hitam macam ini". kataku tersengal-sengal.
Suminem hanya mengangguk saja, matanya tetap terpejam. Melihat tanda
persetujuan itu, aku segera mencopot kemaluanku dari memeknya, begitu
cepat sehingga terdengar suara, "plop". Aku segera mengangkang di atas
tubuhnya, batang kemaluanku kuarahkan ke mulutnya: "ini Nduk" kataku.
Tangan kananku mengangkat kepalanya yang terkulai, sedangkan tangan
kiriku terus mengocok batanganku.Mata si Suminem membuka malas, melihat
senjataku bergelantung di depan wajahnya. Aneh, Dia tidak tampak kaget
lagi (mungkin lama-lama dia sudah biasa?) dia menggumam malas: "mana
obatnya Mbah? sini biar aku minum." Aku mendesah penuh nafsu: "ini Nduk,
obatnya ada dalam burung Mbah ini. Minumlah" kataku. Suminem menjawab
dengan malas, seperti orang setengah sadar: "dihisep dulu Mbah? Sini
gih. Biar cepet selesai". Dan tanpa bertanya lagi, dia memegang kontolku
dan memasukkan ke mulutnya.
Waduh, hebat banget si geNduk ini.Meskipun tetap dengan gaya malas,
seperti setengah sadar, dia mulai menyedot nyedot kemaluanku dan
lidahnya secara reflek juga bergerak-gerak menyelusuri batang kontolku.
Aku bergetar hebat. Kutelungkupkan tubuhku di atas tubuhnya, dan
kugoyangkan pinggulku sehingga kemaluanku bergerak keluar masuk
mulutnya. Rasanya bahkan lebih nikmat daripada bersetubuh biasa.
Beberapa kali tanpa sengaja gigi Suminem bergesekan dengan kemaluanku,
membuat kenikmatan yang kurasakan semakin melambung.Kupercepat
goyanganku, tetapi tetap menjaga agar dia tidak sampai tersedak.
Akhirnya tekanan dalam kemaluanku tidak dapat kutahan lagi: "Nduk, ini
Nduk.." erangku: "telan semua ya" dan croot.. muncratlah air maniku ke
dalam mulutnya. Kurasakan hisapan dan jilatannya berhenti. Dua kali lagi
aku menyemprotkan maniku di mulutnya, semuanya tampak tertelan (karena
posisinya terlentang, jadi tidak ada yang terbuang keluar).
Kudiamkan posisi ini agak lama, sampai kurasakan kemaluanku mulai
mengecil dan akhirnya lepas sendiri dari mulutnya. Aku berguling ke
samping, kulihat Suminem tetap telentang dengan mata tertutup. Bibirnya
yang seksi kini tampak berlepotan air mani, tampaknya masih ada maniku
yang tertahan di mulutnya dan belum tertelan. Aku bangun dan mengambil
gelas berisi air kembang tadi, dan menyodorkan kemulutnya dengan lembut:
"minum Nduk, minum. Biar semua obat Mbah masuk ke badanmu. Ini air
kembang juga berkhasiat kok." Dia menurut dan meneguk habis air itu.
Akhirnya kubimbing dia berdiri, dan kubantu dia memakai bajunya. Aku
juga memakai bajuku. Kami sama sekali tidak bicara saat itu.
"Bagaimana Nduk? Apakah kamu sudah merasa enakan?" dia diam saja.
Tangannya menyisir rambutnya, dan membetulkan bajunya yang awut-awutan.
Kuelus rambutnya."Mbah, apakah pasti saya sudah sembuh?" tanyanya dengan
suara bergetar. Aku mengangguk: "pokoknya, semua sudah beres.
Tadi Mbah itu mempertaruhkan nyawa Mbah lho. Kalau gagal tadi pasti
ilmu hitamnya si Kasno berbalik menghantam Mbah. Untunglah semua sudah
berakhir."Dia mengangguk, wajahnya tetap menunduk: "matur nuwun, Mbah."
Katanya: "Berapa saya harus bayar Mbah?" aku tergelak: "wis, wis, bocah
ayu, Mbah nggak minta bayaran kok. Bisa menyembuhkan kamu saja Mbah
sudah bersyukur banget." Kulihat bibir si Suminem tersenyum halus,
mengangguk dan meminta ijin pulang. Kubuka pintu kamarku dan aku
memanggil salah satu tukang ojek yang mangkal untuk mengantarkannya
pulang. Dalam beberapa detik, tubuh bahenol Suminem hilang tertelan
kegelapan malam.Aku menghela napas dan masuk kembali ke kamar. Tiba-tiba
aku tertegun. Lha, kok aku sampai tidak menanyakan si Suminem itu tadi
siapa ya? karena sudah terbelit nafsu aku sampai tidak menanyakan
pertanyaan ? pertanyaan standar seorang dukun: rumahmu dimana, bapakmu
siapa..Ah, aku menggeleng.
Rasanya aku tidak pernah lihat dia sebagai warga sekitar sini. Mungkin
dia dari Wonolayu, desa sebelah sana. Biarin saja. Aku masuk kamar
praktekku, dan segera menggelosor di dipan yang tadi kugunakan untuk
bercinta dengan Suminem. Dalam beberapa menit aku terlelap. Entah berapa
jam aku tertidur, ketika sayup-sayup kudengar..TOK..TOK..TOK.."Bangun,
Darmanto bangsat! bangun!" suara yang sayup-sayup tadi kini menjadi
semakin jelas seiring dengan meningkatnya kesadaranku. Dengan
terseok-seok aku berdiri dan menuju pintu, membukanya dengan malas. Baru
pintu kubuka sedikit, tiba-tiba.. bruuk..seorang laki-laki tinggi besar
menyerbu masuk, dan tanpa basa-basi tangannya menampar pipiku. Aku
mengaduh dan terbanting ke lantai. Waktu aku melihat siapa si pembuat
onar itu, kulihat Mas Darmin, blantik (pedagang sapi) tetanggaku, sedang
berdiri dengan mata merah dan berapi-api. Tubuhnya yang tinggi besar
dan berkumis melintang (dia memang keturunan warok Ponorogo) tampak
sangat menyeramkan.
Aku berteriak keheranan: "mas.. Mas Darmin.. ada apa ini? kok tiba-tiba
kesetanan kayak gini?"Mas Darmin balas berteriak, matanya semakin
mendelik: "kesetanan gundulmu.. kamu yang kemasukan setan! apa yang kamu
lakukan kemarin malam, Dar? ayo ngaku!!". aku semakin bingung: "yang
apa to mas? aku ora ngerti." Si warok itu tampak semakin marah: "kemarin
malam! si Suminem! Sumineemm! kamu apakan dia?"Wah, aku jadi kaget.
Suminem itu apanya dia? kalau anak tidak mungkin, aku tahu Mas Darmin
cuma punya dua anak laki-laki: "si Suminem itu apanya mas?" tanyaku. Mas
darmin berteriak marah: "kuwi ponakanku, bedes (monyet)! semalam dia
datang ke rumah, katanya baru ke kamu terus karena kemalaman dia takut
pulang ke rumahnya di Wonolayu. Di rumah dia nangis-nangis, katanya
pipisnya sakit sekali. Waktu dilihat mbakyumu, celana dalamnya ternyata
basah oleh darah. Walaah..dia akhirnya ngaku semua apa yang kamu
lakukan. Iyo tho? ayo ngaku, bedes!" dan dengan berkata begitu ia
menubruk lagi tubuhku.
Satu bogem mentah kembali melayang ke pipiku. Aku berteriak
kesakitan.Aku hanya bisa meratap: "mas.. mas.. ampun mas, aku tidak mau
kok sebetulnya..si Suminem yang memaksa.." aku coba membela diri
sebisanya. Mendengar itu, Mas darmin jadi semakin marah: "opo jaremu
(apa katamu)? Si Suminem yang minta? kamu kira keluargaku kuwi keluarga
perek opo? pikirmu si Suminem kuwi bocah nakal tukang goda wong lanang?
weehh.. kurang ajar kowe Dar. Bangsat! asu! kucing! wedus! bedes!" dan
sambil mengeluarkan perbendaharaan nama segala jenis binatang yang ada
dalam kepalanya, Mas Darmin kembali menendang tubuhku yang sedang
menggelosor pasrah di lantai. Dan dengan ngeri kulihat tangannya mulai
menarik pecut (cemeti) yang melingkar di pinggangnya, pecut yang biasa
dia gunakan kalau lagi akan jualan sapi. Aku semakin meringkuk: "ampuun
maas.." rengekku.Dalam suasana yang sangat genting itu, tiba-tiba
beberapa orang menerobos masuk.
Aku melihat Pak Sitepu, ketua RW kami yang langsung memeluk Mas Darmin
yang lagi kesetanan: "sudah..sudah mas.. mati pula dia nanti.. tenang
sajalah kau.." katanya dengan logat batak yang kental. Seorang lagi yang
menerobos masuk adalah seorang polisi. Dia membantuku berdiri dan
dengan formal berkata: "Bapak Darmanto, saya menahan bapak atas tuduhan
pemerkosaan terhadap anak di bawah umur. Saya minta bapak ikut saya ke
polsek sekarang juga." Aku hanya mengangguk mengiyakan. Kulihat di
belakangnya bapak dan ibuku, yu Mini dan keluargaku yang lain melihat
semua adegan dahsyat itu dengan melongo tanpa bisa berkata apa-apa.Mas
Darmin terus berteriak-teriak: "Ya, Pak polisi.. cepet saja ditangkap si
bedes ini. Daripada nanti kalau lepas bisa kalap aku. Tak cacah
dagingmu, tak jadikan rawon! tak jadikan sop! tak jadikan rendang..!"
sekarang dia mengancam dengan segala jenis masakan yang dia ingat. Aku
menghela napas. Dengan gontai aku mengikuti Pak polisi itu, keluar
rumahku.
Di depan rumah ternyata ada puluhan orang lain yang sudah berkumpul,
para tukang ojek yang mangkal, tetangga, dan orang-orang lain. Semuanya
melongo melihatku.Dari dalam masih kudengar teriakan Mas Darmin,
menyebut segala jenis makanan yang rencananya akan mempergunakan
dagingku sebagai bahan lauknya: "tak jadikan sate! tak jadikan opor!".
seorang tetanggaku berteriak mengejek: "entek nasibmu (habis nasibmu)
Dar! makanya kalau hidup jangan hanya ngurusi kontol thok!".Ya, memang
habislah nasib dan karirku saat ini sebagai dukun. Oh, nasiib..
+ komentar + 1 komentar
* Obat Penggugur Kandungan,,
* what I have read on this page is enough to make me satisfied can menik die this article thanks greetings *
Posting Komentar