Ngentot Dengan Shanti
Kejadian ini berlangsung sekitar
bulan September 2000 yang
lalu. Tanggal berapa tepatnya
aku sudah lupa. Yang aku ingat,
saat itu hubungan Eksanti
dengan Yoga sudah membaik,
bahkan aku mendengar mereka
telah bertunangan dan
berencana untuk
melangsungkan pernikahan
dalam waktu dekat ini.
Ketika
itu mereka tinggal dalam
sebuah rumah kost yang sama
di daerah Selatan - Jakarta,
meskipun berbeda kamar,
karena saat itu Yoga sedang
mendapat training di Jakarta
selama 6 bulan.
Sebagai bekas teman dan
atasan Eksanti, aku memang
pernah dikenalkan dengan Yoga.
Yoga ternyata begitu
cemburuan. Memang harus aku
akui kalau Eksanti memang
cantik, bahkan terlalu cantik
untuk ukuran Yoga itu. Padahal
kalau menurutku sih, adalah hal
yang biasa kalau serorang lelaki
yang penampilan fisiknya biasa
saja, ternyata memiliki seorang
pacar yang cantik. Aku
mengatakan Eksanti cantik,
bukan merupakan penilaianku
yang subyektif. Banyak teman-
temanku lain yang juga
berpendapat begitu. Bahkan
beberapa diantaranya
berpendapat sama, bahwa
Eksanti memiliki sex appeal yang
luar biasa tinggi. Bagi kaum
lelaki, jika memandang mata
Eksanti, boleh jadi langsung
akan berfantasi macam-macam.
Percaya atau tidak, mata
Eksanti begitu sayu seolah-olah
EpasrahE ditambah lagi dengan
bibirnya yang seksi dan suka
digigit-gigit, kalau Eksanti
sedang gemes. Sungguh suatu
ciptaan Tuhan yang sangat
eksotis dan sensual.
Ketika aku sempat mengobrol
dengan Yoga minggu
sebelumnya, secara tidak
sengaja kami menemukan suatu
peluang bisnis yang mungkin
bisa dikerjakan bersama antara
kantorku dengan kantornya.
Pikiran dagangku segera jalan
dan aku menjanjikan untuk
menitipkan sebuah proposal
kepada Yoga untuk dibahas
oleh tim kantornya di Malang.
Siang itu, sehabis meeting
dengan salah satu klienku di
sebuah kantor di daerah
Kuningan, aku berencana untuk
mampir ke rumah kost Yoga ?
yang juga rumah kost Eksanti -
untuk menitipkan proposal yang
aku janjikan. Aku mengendarai
mobil menuju tempat kost Yoga.
Sesampainya di sana, aku
melihat garasi tempat mobil
Yoga biasa diparkir dalam
keadaan kosong yang
menandakan Yoga sedang
keluar. Namun aku tidak
mengurungkan niatku untuk
bertemu dengan Yoga.
Setelah aku memarkir mobil di
depan halaman rumah kost itu,
aku masuk menuju ruang tamu
yang pada saat itu pintunya
dalam keadaan terbuka, dan
langsung menuju ke kamar
Yoga. Di dalam rumah itu ada 4
kamar dan kamar Yoga yang
paling pojok, berhadapan
dengan kamar Eksanti. Masing-
masing kamar kelihatan
tertutup pertanda tidak ada
kehidupan di dalam rumah itu.
Aku ingin menulis pesan di pintu
kamar Yoga karena memang
aku sangat perlu dengannya.
Sementara aku sedang
menuliskan pesan, samar-samar
terdengar suara televisi dari
dalam kamar Eksanti, di depan
kamar Yoga, pertanda ada
seseorang di dalam kamarnya.
Aku memastikan kalau yang di
dalam kamar itu adalah Eksanti,
bukannya orang lain. Aku
mengetuk pintu perlahan sambil
memanggil nama Eksanti. Tidak
beberapa lama kemudian pintu
dibuka kira-kira sekepalan
tangan dan aku melihat wajah
Eksanti tampak dari celah pintu
yang terbuka.
"Eh, Mas.. cari Mas Yoga yaa..
Tadi pagi sih ditungguin, tapi
Mas Yoga buru-buru berangkat
Mas", jawabnya sebelum aku
bertanya.
Entah mengapa, ketika menatap
mata Eksanti yang sayu itu,
pikiranku jadi teringat masa-
masa indah yang pernah kami
alami dulu.
Aku sambil tersenyum
menatapnya seraya bertanya,
"Kamu nggak ke kantor hari
ini?"
"Lagi kurang enak badan nih,
Mas, tadi Santi bangunnya
kesiangan, jadi males banget ke
kantor", jawabnya singkat,
sambil menggigit bibir bawahnya.
Ada rasa menyesal kenapa dia
harus membolos ke kantor hari
ini.
"Terus, Yoga biasanya jam
berapa pulangnya, Santi?",
tanyaku sekedar berbasa-basi.
"Mestinya sih jam 5 nanti, tapi
mungkin bisa lebih lama, soalnya
Mas Yoga hari ini ada tugas
kelompok bersama teman-
teman trainingnya", jawabnya
agak kesal.
Saat itu kira-kira jam 1 siang
berarti Yoga pulang kira-kira 4
atau 5 jam lagi, pikiranku mulai
nakal.
Aku mencoba mencari bahan
pembicaraan yang kira-kira bisa
memperpanjang obrolan kami
agar aku bisa lebih dekat
dengan Eksanti. Agak lama aku
terdiam. Aku memandang
matanya, memandang bibirnya
yang basah. Bibirnya yang
dipoles warna merah menambah
sensual bentuknya yang tipis
dan memang sangat indah itu.
Semakin lama aku melihatnya
semakin aku berfantasi macam-
macam. Sungguh, jantungku
deg-degan saat itu. Mata
Eksanti tidak berkedip sekejap
pun membalas tatapan mataku.
Sebuah desiran hangat mengalir
keras di dadaku, dan aku
sungguh yakin Eksanti pun
masih memiliki getar rasa yang
sama denganku.
Setelah agak lama kami
terdiam, "Teman-teman
kamarmu yang lain lagi pada
kemana semua, Santi?", dengan
mata menatap sekeliling aku
bertanya sekenaku,
menanyakan keberadaan anak-
anak kost yang lain.
"Mas ini mau nyari Mas Yoga
atau..", kata-katanya terputus
tapi aku bisa menerjemahkan
kelanjutan kalimatnya dari
senyuman di bibirnya.
Akhirnya aku memutuskan
untuk to the point aja.
"Aku juga pengin ketemu
denganmu, Santi!", jawabku
berpura-pura.
Dia tertawa pelan, "Mas,
kenapa, sih?", ia memandangku
lembut.
"Boleh aku masuk, Santi? Ada
sesuatu yang ingin kubicarakan
denganmu,", jawabku lagi.
"Sebentar, ya.. Mas, kamar
Santi lagi berantakan nih!"
Eksanti lalu menutup pintu di
depanku. Tidak beberapa lama
berselang pintu terbuka
kembali, lalu dia mempersilakan
aku masuk ke dalam kamarnya.
Aku duduk di atas kasur yang
digelar di atas lantai. Eksanti
masih sibuk membereskan
pakaian-pakaian yang
bertebaran di atas sandaran
kursi sofa. Aku menatap tubuh
Eksanti yang membelakangiku.
Saat itu dia mengenakan kaos
ketat warna kuning yang
memperlihatkan pangkal
lengannya yang mulus. Aku
memandang pinggulnya yang
ditutup oleh celana pendek.
Tungkainya panjang serta
pahanya bulat dan mulus.
Kejantananku menjadi tegang
memandang semua
keindahannya, ditambah dengan
khayalanku dulu, ketika aku
memiliki kesempatan membelai-
belai lembut kedua pangkal
pahanya itu.
Kemudian Eksanti duduk di
sampingku. Lututnya ditekuk
sehingga celananya agak naik
ke atas membuat pahanya
semakin terpampang lebar. Kali
ini tanpa malu-malu aku
menatapnya dengan
sepengetahuan Eksanti. Dia
mencoba menarik turun agak
ke bawah ujung celananya
untuk menutupi pahanya yang
sedang aku nikmati.
"Mas, mau bicara apa, sih?",
katanya tiba-tiba.
Saat itu otakku berpikir cepat,
aku takut kalau sebenarnya
aku tidak punya bahan
pembicaraan yang berarti
dengannya. Soalnya dalam
pikiranku saat itu cuma ada
khayalan-khayalan untuk
bercinta dengannya.
"Mmm.. San.. aku beberapa hari
ini sering bermimpi,", kataku
berbohong. Entah dari mana
aku mendapatkan kalimat itu,
aku sendiri tidak tahu tetapi
aku merasa agak tenang
dengan pernyataan itu.
"Mimpi tentang apa, Mas?",
kelihatannya dia begitu serius
menangapiku dilihat dari
caranya memandangku.
"Tentang kamu, San", jawabku
pelan.
Bukannya terkejut, malah
sebaliknya dia tertawa
mendengar bualanku. Sampai-
sampai Eksanti menutup
mulutnya agar suara tawanya
tidak terdengar terlalu keras.
"Emangnya Mas, mimpi apa sama
aku?", tanyanya penasaran.
"Ya.. biasalah, kamu juga pasti
tahu", jawabku sambil
tertunduk.
Tiba-tiba dia memegang
tanganku. Aku benar-benar
terkejut lalu menoleh ke
arahnya.
"Mas ini ada-ada saja, Mas Ekan
sekarang sudah punya yang di
rumah, lagian aku juga Ekan
sudah punya pacar, masa masih
mau mimpi-mimpiin orang lain?"
"Makanya aku juga bingung,
Santi. Lagian kalaupun bisa, aku
sebenarnya nggak ingin
bermimpi tentang kamu, Santi",
jawabku pura-pura memelas.
Kami sama-sama terdiam. Aku
meremas jemari tangannya lalu
perlahan aku mengangkat
menuju bibirku. Dia
memperhatikanku pada saat
aku melabuhkan ciuman mesra
ke punggung tangannya. Aku
menggeser posisi dudukku agar
lebih dekat dengan tubuhnya.
Aku memandangi wajahnya.
Mata kami berpandangan.
Wajahku perlahan mendekati
wajahnya, mencari bibirnya,
semakin dekat dan tiba-tiba
wajahnya berpaling sehingga
mulutku mendarat di pipinya
yang mulus. Kedua tanganku
kini bergerak aktif memeluk
tubuhnya.
Tangan kananku menggapai
dagunya lalu mengarahkan
wajahnya berhadapan dengan
wajahku. Aku meraup mulutnya
seketika dengan mulutku.
Eksanti menggeliat pelan sambil
menyebutkan namaku.
"Mas.., cukup mas!", tangannya
mencoba mendorong dadaku
untuk menghentikan
kegiatanku.
Aku menghentikan aksiku, lalu
pura-pura meminta maaf
kepadanya.
"Maafkan aku, Santi.. aku nggak
sanggup lagi jika setiap malam
memimpikan dirimu", aku pura-
pura menunduk lagi seolah-olah
menyesali perbuatanku.
"Aku mengerti Mas, aku juga
nggak bisa menyalahkan Mas
karena mimpi-mimpimu itu.
Bagaimanapun juga, kita pernah
merasa deket Mas", sepertinya
Eksanti memafkan dan
memaklumi perbuatanku
barusan.
Aku menatap wajahnya lagi. Ada
semacam kesedihan di wajahnya
hanya saja aku tak tahu apa
penyebabnya. Pipinya masih
kelihatan memerah bekas
cumbuanku tadi.
"Aku juga ingin membantu Mas
agar tidak terlalu memikirkanku
lagi, tapi.."- kalimatnya
terputus.
Dalam hati aku tersenyum
dengan kalimat "ingin
membantu.." yang diucapkannya.
"Santi, aku cuma ingin pergi
berdua denganmu, sekali saja..,
sebelum kamu benar-benar
menjadi milik Yoga. Agar aku
bisa melupakanmu", kataku
memohon.
"Kita kan sama-sama sudah ada
yang punya, Mas.., nanti kalau
ketahuan gimana?"
Nah, kalau sudah sampai disini
aku merasa mendapat angin.
Kesimpulannya dia masih mau
pergi denganku, asal jangan
sampai ketahuan sama Yoga.
"Seandainya ketahuan.. aku
akan bertanggung jawab,
Santi", setelah itu aku
memeluknya lagi.
Dan kali ini dia benar-benar
pasrah dalam pelukanku. Malah
tangannya ikut membalas
memeluk tubuhku. Telapak
tanganku perlahan mengelus
punggungnya dengan mesra,
sementara bibirku tidak tinggal
diam menciumi pipi lalu turun ke
lehernya yang jenjang. Eksanti
mendesah. Aku menciumi
kulitnya dengan penuh nafsu.
Mulutku meraup bibirnya.
Eksanti diam saja. Aku melumat
bibirnya, lalu aku menjulurkan
lidahku perlahan seiring
mulutnya yang seperti
mempersilakan lidahku untuk
menjelajah rongga mulutnya.
Nafasnya mulai tidak teratur
ketika lidahku memilin lidahnya.
Kesempatan ini aku gunakan
untuk membelai payudaranya.
Perlahan telapak tanganku aku
tarik dari punggungnya melalui
ketiaknya. Tanpa berhenti
membelai, telapak tanganku kini
sudah berada pada sisi
payudaranya. Aku benar-benar
hampir tidak bisa menguasai
birahiku saat itu. Apalagi aku
sudah sering membayangkan
kesempatan seperti saat ini
terulang lagi bersamanya.
Kini telapak tanganku sudah
berada di atas gundukan daging
di atas dadanya. Tidak terlalu
besar dan tidak terlalu kecil,
justru yang seperti ini yang
paling indah menurutku. Pada
saat tanganku mulai meremas
payudaranya yang sebelah
kanan, tangan Eksanti mencoba
menahan aksiku. Payudaranya
masih kencang dan padat
membuatku semakin bernafsu
untuk meremas-remasnya.
"Mas, jangan sekarang Mas..
Santi takut..", katanya berulang
kali.
Aku juga merasa tindakanku
saat itu betul-betul nekat,
apalagi pintu kamar masih
terbuka setengah. Jangan-
jangan ada orang lain yang
melihat perbuatan kami. Wah,
bisa gawat jadinya.
Aku akhirnya berdiri dari
tempat dudukku untuk
menenangkan suasana. Aku
bukanlah tipe laki-laki yang
suka terburu-buru dalam
berbagai hal, khususnya dalam
masalah percintaan.
Aku kini duduk di kursi sofa
menghadap Eksanti, sedangkan
Eksanti masih di atas kasur
sambil memperbaiki rambut dan
kaosnya kuningnya yang agak
kusut.
"Mas, mau ngajak Santi ke
mana, sih", Eksanti menatap
wajahku.
"Pokoknya tempat di mana
tidak ada orang yang bisa
mengganggu ketenangan kita,
Santi", jawabku sambil
memandang permukaan
dadanya yang baru saja aku
remas-reMas. Eksanti duduk
sambil bersandar dengan kedua
tangan di belakang untuk
menahan tubuhnya.
Payudaranya jadi kelihatan
menonjol. Aku memandang nakal
ke arah payudaranya sambil
tersenyum. Kakinya diluruskan
hingga menyentuh telapak
kakiku.
"Tapi kalau ketahuan.. Mas yang
tanggung jawab, yaa..",
katanya mencoba menuntut
penjelasanku lagi.
Aku mengangguk.
"Terus kapan jalan-jalannya,
Mas?",
"Gimana kalo besok sore jam 4,
besok Ekan JumEat, bisa pulang
lebih awal Ekan?", tanyaku.
"Ketemu di mana?", tanyanya
penasaran.
"Kamu telepon aku, kasih tahu
kamu lagi dimana saat itu, lalu
aku akan menjemputmu di sana,
gimana?", tanyaku lagi.
Dia tersenyum menatapku,
"Wah, Mas ternyata pintar
banget untuk urusan
begituan.", Aku tertawa.
"Tapi aku nggak mau kalau Mas
nakalin aku kayak dulu lagi!!,",
tegasnya.
Aku terkejut namun pura-pura
mengiyakan, soalnya tadi aku
merasa besok aku sudah bisa
menikmati kehangatan tubuh
Eksanti seperti dulu lagi.
Makanya besok sengaja aku
memilih waktu sore hari karena
aku ingin mengajaknya
menginap, kalau dia mau. Namun
aku diam saja, yang penting dia
sudah mau aku ajak pergi,
tinggal penyelesaiannya saja.
Lagian ngapain dia mesti minta
tanggung jawab, seandainya
aku tidak berbuat apa-apa
dengannya, pikirku lagi. Ah, lihat
besok sajalah.
Pukul 3 siang, akhirnya aku
harus kembali ke kantorku, di
samping memang Eksanti juga
meminta aku segera pulang
karena dia juga takut kalau
tiba-tiba Yoga memergoki kami
sedang berdua di kamar. Namun
sebelum pulang aku masih
sempat menikmati bibir Eksanti
sekali lagi waktu berdiri di
samping pintu. Aku malah
sempat menekan tubuh Eksanti
hingga punggungnya bersandar
di dinding. Kesempatan ini aku
gunakan untuk menekan
kejantananku yang sedari tadi
butuh penyaluran ke
selangkangannya. Tetapi hal itu
tidak berlangsung lama karena
situasinya memang tidak
memungkinkan.
Di kantor.., di rumah.. aku selalu
gelisah. Kejantananku
senantiasa menegang
membayangkan apa yang telah
dan akan aku lakukan terhadap
Eksanti nanti.
Keesokan harinya, disaat aku
menunggu tibanya saat
bertemu, aku merasa waktu
berjalan begitu lambat. Hingga
pukul 5 sore, seperti waktu
yang telah kami sepakati
kemarin, aku sedang menanti-
nanti telepon dari Eksanti. Aku
mulai gelisah ketika 15 menit
telah lewat, namun Eksanti
belum juga meneleponku. Aku
mulai menghitung detik-detik
yang berlalu hingga hampir
setengah jam, dan tiba-tiba
handphoneku berbunyi.
Seketika aku mengangkat
telepon itu. Dari seberang sana
aku mendengar suara Eksanti
yang sangat aku nanti-
nantikan. Eksanti meminta maaf
sebelumnya, karena
kesibukannya hari itu tidak
memungkinkan baginya untuk
pulang dari kantor lebih awal.
Banyak pekerjaannya yang
menumpuk, karena kemarin ia
tidak masuk ke kantor. Saat itu
ia memintaku untuk
menjemputnya di sebuah wartel
dekat pertigaan di seberang
kantornya. Aku langsung
menyambar kunci mobil, lalu
keluar dari kantorku dan
bergegas menuju wartel tempat
di mana Eksanti sedang
menungguku.
Aku memarkir mobil di depan
wartel itu, dan tak lama
berselang aku melihat Eksanti
keluar dari wartel, dengan
memakai kaos ketat warna
orange bertuliskan Mickey
Mouse (tokoh favoritnya) di
bagian dadanya, dipadukan
celana jeans warna abu-abu.
Blazer kerjanya telah ia lepas,
dan ditenteng bersama tas
kerjanya. Aku masih ingat, ia
memang selalu tampil ke kantor
dengan pakaian casual setiap
hari JumEat. Eksanti langsung
naik ke atas mobilku, setelah
memastikan tidak ada orang
lain yang mengenalinya di
tempat itu.
Aku tersenyum memandangnya.
Eksanti kelihatan begitu cantik
hari ini. Bibirnya tidak dipoles
dengan lipstik merah seperti
biasanya. "a hanya menyapukan
lipsgloss tipis, yang membuat
jantungku semakin deg-degan.
Aku segera menancap gas
menuju tol ke arah Ancol.
Selama di perjalanan, aku dan
Eksanti bercerita tentang
berbagai hal, termasuk Yoga
dan kehidupan keluargaku.
Sesampainya di Ancol aku
mengajak Eksanti untuk makan
di sebuah rumah makan di tepi
laut yang nuansa romantisnya
sangat terasa. Tanpa canggung
lagi aku memeluk pinggang
Eksanti, pada saat kami
memasuki rumah makan
tersebut. Eksanti juga
melingkarkan tangannya di
pinggangku. Setelah memesan
makanan dan minuman, aku
memeluknya lagi. Tanganku
bergerilya di sekitar
pinggangnya yang terbuka.
Suasana lesehan di rumah
makan itu, yang ruangannya
disekat-sekat menjadi beberapa
tempat dengan pembatas
dinding bilik yang cukup tinggi,
membuat aku bisa bertindak
leluasa kepada Eksanti.
"Tadi malam mimpi lagi, nggak?",
tanyanya memecah keheningan.
"Nggak, tapi aku sempat gelisah
nggak bisa tidur karena terus
membayangkanmu", jawabku
tanpa malu-malu.
Eksanti tertawa, sambil
tangannya mencubit
pinggangku. Hari sudah
menjelang malam ketika kami
meninggalkan tempat itu.
Setelah berputar-putar di
sekitar lokasi pantai, akhirnya
aku memutuskan untuk
menyewa sebuah kamar pada
sebuah cottages di kawasan
Ancol. Semula Eksanti menolak,
karena dia takut kalau kami
tidak bisa menahan diri. Aku
akhirnya meyakinkan Eksanti
bahwa sebenarnya aku cuma
ingin berdua saja dengannya,
sambil memeluk tubuhnya, itu
saja.
Akhirnya Eksanti mengalah.
Ketika kami telah berada di
dalam kamar cottages itu,
Eksanti tampak jadi pendiam. Dia
duduk di atas kursi memandang
ke arah laut, sementara aku
rebahan di atas tempat tidur.
Aku mencoba mencairkan
suasana, dengan kembali
bertanya mengenai kesibukan
pekerjaannya hari itu. Selama
aku bertanya kepadanya, ia
cuma menjawab singkat dengan
kata-kata iya dan tidak. Hanya
itu yang keluar dari mulutnya.
"Mas, pasti kamu menganggap
aku cewek murahan, yaa..
kan?", akhirnya Eksanti mau
mulai membuka pembicaraan
juga. Ternyata, dengan
mengingat statusnya saat ini
sebagai tunangan Yoga, Eksanti
masih belum bisa menerima
perlakuanku yang membawanya
ke dalam cottages ini. Namun
aku tidak menyesal karena
dalam pikiranku sebenarnya dia
sudah tahu apa yang akan
terjadi, sejak kejadian kemarin
siang di kamarnya. Tinggal
bagaimana caranya aku bisa
mengajaknya bercinta tanpa
ada pemaksaan sedikitpun.
"Santi, aku sudah bilang sejak
kemarin kalau aku ingin
berduaan saja bersamamu,
sebelum Yoga benar-enar
menikahi kamu. Aku hanya ingin
memelukmu tanpa ada rasa
takut, itu saja. Dan aku rasa di
sinilah tempatnya", jawabku
mencoba memberikan
pengertian kepadanya.
"Tetapi, apa Mas sanggup
untuk tidak melakukan yang
lebih dari itu?", Eksanti
menatapku dengan sorotan
mata tajam.
"Kalau kamu gimana?", aku
malah balik bertanya.
"Aku tanyam, kok malah balik
nanya ke aku sih?", ia bertanya
dengan nada agak ketus.
"Aku sanggup, Santi", tegasku.
Akhirnya dia tersenyum juga.
Eksanti lalu berjalan ke arahku
menuju tempat tidur lalu duduk
di sampingku. Aku lalu
merangkul tubuhnya dan
membaringkan tubuhnya di atas
kasur.
"Janji ya, Mas..!", ujarnya lagi.
Aku mengangguk.
Kini aku memeluk tubuh indah
Eksanti dengan posisi
menyamping, sedang Eksanti
rebah menghadap ke atas
langit-langit kamar. Aku
mencium pipinya, sambil jemariku
membelai-belai bagian belakang
telinganya. Matanya terpejam
seolah menikmati usapan
tanganku. Aku memandangi
wajahnya yang manis,
hidungnya yang mancung, lalu
bibirnya. Aku tidak tahan untuk
berlama-lama menunggu,
sehingga akhirnya aku
memberanikan diri untuk
mencium bibirnya. Aku melumat
bibir tipis itu dengan mesra, lalu
aku mulai menjulurkan lidahku
ke dalam mulutnya. Mulutnya
terbuka perlahan menerima
lidahku. Cukup lama aku
mempermainkan lidahku di dalam
mulutnya. Lidahnya begitu
agresif menanggapi permainan
lidahku, sampai-sampai nafas
kami berdua menjadi tersengal-
sengal tidak beraturan.
Sesaat kemudian, ciuman kami
terhenti untuk menarik nafas,
lalu kami mulai berpagutan lagi..
dan lagi.. Tangan kiriku yang
bebas untuk melakukan sesuatu
terhadap Eksanti, kini mulai aku
aktifkan. Aku membelai,
meremasi pangkal lengannya
yang terbuka. Aku membuka
telapak tanganku, sehingga
jempolku bisa menggapai
permukaan dadanya sambil
tetap membelai lembut pangkal
lengannya. Bibirku kini turun
menyapu kulit putih di lehernya
seiring telapak tanganku
meraup bukit indah
payudaranya. Eksanti
menggeliat bagai cacing
kepanasan terkena terik
mentari. Suara rintihan
berulang kali keluar dari
mulutnya, disaat lidahku
menjulur, menjilat, membasahi,
menikmati batang lehernya
yang jenjang.
"Mas, jangan..!", Eksanti
mencoba menarik telapak
tanganku yang kini sedang
mereMas, menggelitik
payudaranya. Aku tidak peduli
lagi. Lagi pula dia juga
tampaknya tidak sungguh-
sungguh untuk melarangku.
Hanya mulutnya saja yang
seolah melarang, sementara
tangannya cuma sebatas
memegang pergelangan
tanganku, sambil tetap
membiarkan telapak tanganku
terus mengelus dan meremas
buah dadanya yang mulai
mengeras membusung.
Suasana angin pantai yang
dingin di luar sana, sangat
kontras dengan keadaan di
dalam kamar tempat kami
bergumul. Aku dan Eksanti mulai
merasa kegerahan. Aku
akhirnya membuka kaosku
sehingga bertelanjang dada.
"Santi, Mas sangat ingin melihat
payudaramu, Eyang..", ujarku
sambil mengusap bagian puncak
puting payudaranya yang
menonjol. Eksanti kembali
menatapku tajam. Mestinya aku
tidak perlu memohon
kepadanya karena saat itupun
aku sudah membelai dan
meremas-remas payudaranya.
Tetapi entah mengapa aku lebih
suka jika Eksanti yang membuka
kaosnya sendiri untukku.
"Tapi janji Mas yaa.., cuma yang
ini aja", katanya lagi. Aku cuma
mengangguk, padahal aku tidak
tahu apa yang mesti aku
janjikan lagi.
Eksanti akhirnya membuka kaos
ketat warna orange-nya di
depan mataku. Aku terkagum-
kagum ketika menatap dua
gundukan daging di dadanya,
yang masih tertutup oleh
sebuah berwarna bra berwarna
hitam. Payudara itu begitu
membusung, menantang. Bukit-
bukit di dada Eksanti naik turun
seiring dengan desah nafasnya
yang memburu. Sambil berbaring
Eksanti membuka pengait bra di
punggungnya. Punggungnya
melengkung indah. Aku menahan
tangan Eksanti ketika dia
mencoba untuk menurunkan tali
bra-nya dari atas pundaknya.
Justru dengan keadaan bra-
nya yang longgar karena tanpa
pengait seperti itu, membuat
payudaranya semakin
menantang. Payudaranya
sangat putih kontras dengan
warna bra-nya, sangat terawat
dan sangat kencang, seperti
yang selama ini selalu aku
bayang-bayangkan.
"Payudaramu masih tetap
bagus sekali. Santi, kamu pintar
merawat, yaa..", aku mencoba
mengungkapkan keindahan
pada tubuhnya.
"Pantes si Yoga jadi tergila-gila
sama dia,", pikirku.
Lalu, perlahan-lahan aku
menarik turun cup bra-nya.
Mata Eksanti terpejam.
Perhatianku terfokus ke puting
susunya yang berwarna merah
kecoklatan. Lingkarannya tidak
begitu besar, namun ujung-
ujung puncaknya begitu runcing
dan kaku. Aku mengusap
putingnya lalu aku memilin
dengan jemariku. Eksanti
mendesah. Mulutku turun ingin
mencicipi payudaranya.
"Egkhh..", rintih Eksanti ketika
mulutku melumat puting
susunya. Aku mempermainkan
dengan lidah dan gigiku. Sekali-
sekali aku menggigit lembut
putingnya, lalu aku hisap kuat-
kuat sehingga membuat Eksanti
menarik, menjambak rambutku.
Puas menikmati buah dada yang
sebelah kiri, aku mencium buah
dada Eksanti yang satunya,
yang belum sempat aku nikmati.
Rintihan-rintihan dan desahan
kenikmatan silih berganti keluar
dari mulut Eksanti. Sambil
menciumi payudara Eksanti,
tanganku turun membelai
perutnya yang datar, berhenti
sejenak di pusarnya lalu
perlahan turun mengitari
lembah di bawah perut Eksanti.
Aku membelai pahanya sebelah
dalam terlebih dahulu sebelum
aku memutuskan untuk meraba
bagian kewanitaannya yang
masih tertutup oleh celana
jeans ketat yang dikenakan
Eksanti. Secara tiba-tiba, aku
menghentikan kegiatanku, lalu
berdiri di samping ranjang.
Eksanti tertegun sejenak
memandangku, lalu matanya
terpejam kembali ketika aku
membuka pantalon warna hitam
yang aku kenakan. Sengaja aku
membiarkan lampu kamar
cottage itu menyala terang,
agar aku bisa melihat secara
jelas detil dari setiap inci tubuh
Eksanti yang selama ini sering
aku jadikan fantasi seksualku.
Aku masih berdiri sambil
memandang tubuh Eksanti yang
tergolek di ranjang, menantang.
Kulitnya yang putih membuat
mataku tak jemu memandang.
Perutnya begitu datar. Celana
jeans ketat yang dipakainya
telihat terlalu longgar pada
pinggangnya namun pada
bagian pinggulnya begitu pas
untuk menunjukkan lekukan
pantatnya yang sempurna.
Puas memandangi tubuh
Eksanti, lalu aku membaringkan
tubuhku di sampingnya. Aku
merapikan untaian rambut yang
menutupi beberapa bagian pada
permukaan wajah dan leher
Eksanti. Aku membelai lagi
payudaranya. Aku mencium
bibirnya sambil aku masukkan
air liurku ke dalam mulutnya.
Eksanti menelannya. Tanganku
turun ke bagian perut lalu
menerobos masuk melalui
pinggang celana jeans-nya yang
memang agak longgar. Jemariku
bergerak lincah mengusap dan
membelai selangkangan Eksanti
yang masih tertutup celana
dalamnya. Eksanti menahan
tanganku, ketika jari tengah
tanganku membelai permukaan
celana dalamnya tepat diatas
kewanitaannya. ia telah basah..
Aku terus mempermainkan jari
tengahku untuk menggelitik
bagian yang paling pribadi pada
tubuh Eksanti. Pinggul Eksanti
perlahan bergerak ke kiri.., ke
kanan.. dan sesekali bergoyang
untuk menetralisir ketegangan
yang dialaminya.
"Mas, nanti kita terlalu jauh,
Mas..", ujarnya perlahan sambil
menatap sayu ke arahku.
Matanya yang sayu ditambah
dengan rangsangan yang
tengah dialaminya, menambah
redup bola matanya. Sungguh,
aku semakin bernafsu
melihatnya. Aku menggeleng lalu
tersenyum, bahkan aku malah
menyuruh Eksanti untuk
membuka celana jeans yang
dipakainya.
Tangan kanan Eksanti berhenti
pada permukaan kancing
celananya. ia kelihatan ragu-
ragu. Aku lalu berbisik mesra ke
telinganya, kalau aku ingin
memeluknya dalam keadaan
telanjang seperti yang selama
ini senantiasa aku mimpikan.
Eksanti lalu membuka kancing
dan menurunkan reitsliting
celana jeans-nya. Celana dalam
hitam yang dikenakannya
begitu mini sehingga rambut-
rambut pubis yang tumbuh di
sekitar kewanitaannya hampir
sebagian keluar dari pinggir
celana dalamnya. Aku membantu
menarik turun celana jeans
Eksanti. Pinggulnya agak
dinaikkan ketika aku agak
kesusahan menarik celana jeans
itu. Posisi kami kini sama-sama
tinggal mengenakan celana
dalam. Tubuhnya tampak
semakin seksi saja. Pahanya
begitu mulus. Memang harus
aku akui tubuhnya begitu
menarik dan memikat, penuh
dengan sex appeal.
Eksanti menarik selimut untuk
menutupi permukaan tubuhnya.
Aku beringsut masuk ke dalam
selimut lalu memeluk erat tubuh
Eksanti. Kami berpelukan. Aku
menarik tangan kirinya untuk
menyentuh kepala
kejantananku. Dia tampak
terkejut ketika mendapatkan
kejantananku yang tanpa
penutup lagi. Memang, sebelum
aku masuk ke dalam selimut,
aku sempat melepaskan celana
dalamku tanpa sepengetahuan
Eksanti. Aku tersenyum nakal.
"Occhh..", Eksanti semakin kaget
ketika tangannya menyentuh
kejantananku yang telah tegak
menegang.
"Kenapa, Santi?", aku bertanya
pura-pura tidak mengerti.
Padahal aku tahu dia pasti
terkejut karena merasakan
betapa telah kuat dan
kokohnya kejantananku saat
ini. Eksanti tersenyum malu.
Sentuhan kejantananku di
tangannya membuat Eksanti
merasa malu, tetapi hati
kecilnya mau, ditambah sedikit
rasa takut, mungkin.. Kini,
Eksanti mulai berani membelai
dan menggenggam
kejantananku. Belaiannya begitu
mantap menandakan Eksanti
begitu piawai dalam urusan
yang satu ini.
"Tangan kamu semakin pintar
yaa.., Santi", ujarku sambil
memandang tangannya yang
mulai mengocok-ngocok lembut
sekujur kejantananku.
"Ya, mesti dong..,Ekan Mas yang
dulu ngajarin Santi!", jawabnya
sambil cekikikan.
Mendapat jawaban pertanyaan
seperti itu, entah mengenapa
hasrat birahiku tiba-tiba
menjadi semakin liar. Namun aku
tetap berusaha bertahan untuk
sementara waktu, sebelum aku
merasakan ia benar-benar siap
untuk berpaducinta denganku.
Sambil meresapi kenikmatan
usapan-usapan yang aku
rasakan di sepanjang kulit
batang kejantananku, jari-
jemariku yang nakal mulai
masuk dari samping celah celana
dalam Eksanti. Telapak
tanganku langsung menyentuh
bibir kewanitaannya yang sudah
merekah basah. Jari telunjukku
membelai-belai sejumput daging
kecil di dalam lepitan celahnya,
sehingga Eksantipun semakin
merasakan nikmat semata.
"Kamu mau mencium
kejantananku nggak, Santi?",
tanyaku tanpa malu-malu lagi.
Eksanti tertawa sambil mencubit
batang kejantananku. Aku
meringis.
"Kalau punya Mas yang
sekarang, kayaknya Santi
nggak bisa?", ujarnya.
"Kenapa memangnya, apa
bedanya punya Mas yang dulu
dengan yang sekarang?",
tanyaku penasaran.
"Yang sekarang kayaknya
nggak muat di mulutku, soalnya
rasanya tambah besar dari
yang dulu..", selesai berkata
demikian Eksanti langsung
tertawa kecil.
"Kalau yang dibawah, gimana?",
tanyaku lagi sambil menusukkan
jari tengahku ke dalam lubang
kewanitaannya.
Eksanti merintih sambil menahan
tanganku. Tetapi jariku sudah
terlanjur tenggelam ke dalam
liang senggamanya. Aku
merasakan liang kewanitaannya
berdenyut menjepit jariku.
Oooch.., pasti nikmat sekali
kalau saja kejantananku yang
diurut, pikirku. Tiba-tiba,
matanya memandang tajam ke
arahku, dengan muka yang
agak berkerut masam.
"Kenapa, Santi, ada apa
Eyang?", aku bertanya sambil
menarik tanganku dari liang
kewanitaannya.
Aku tahu dia marah, tetapi apa
sebabnya..?
"Anak ini, kok aneh banget, jual
mahal lagi", pikirku. "..atau dia
ingat Yoga, sehingga tiba-tiba
ia merasa bersalah?" "..terus
ngapain dia mau aku cumbu
sejak kemarin?", aku masih
penasaran dengan sikapnya
yang tiba-tiba berubah.
"Mas Ekan sudah janji untuk
tidak melakukannya, Ekan?",
tiba-tiba Eksanti berbicara. Aku
terdiam.
"Aku tadinya nggak mau kita
masuk ke kamar ini, karena aku
takut kita nggak bisa menahan
keinginan untuk melakukannya
lagi, Mas", tambahnya
memberikan pengarahan
kepadaku. "Bagaimanapun juga
khusus untuk yang satu ini,
Santi tidak dapat memberikan
buat Mas lagi. Bukan hanya Mas
yang nggak tahan, aku juga
sebenarnya sudah nggak
tahan.. Aku nggak munafik, Mas.
Tapi.. kumohon, please.. Mas mau
mengerti posisiku sekarang",
sambil berkata demikian Eksanti
mencium keningku.
Aku tidak tahu harus berbuat
apa saat itu. Dalam posisi yang
sudah sama-sama telanjang,
kecuali Eksanti yang masih
mengenakan celana dalamnya,
berdua di dalam sebuah kamar
di tepi laut yang romantis,
dapat dibayangkan apa
sebenarnya yang bakal terjadi.
Tetapi kali ini tidaklah demikian.
Bayanganku tentang
kenikmatan saat bercinta
dengan Eksanti sirna sudah,
atau setidaknya tidak dapat
aku rasakan saat ini. Tapi
sampai kapan? Aku jadi
berpikiran untuk memaksanya
saja melakukan persetubuhan,
tetapi hal itu bertentangan
dengan hati nuraniku. Akhirnya
aku cuma bisa pasrah dan diam.
Kejantananku yang tadi aku
rasakan telah tegang
menantang, tiba-tiba menjadi
lemas dalam genggaman tangan
Eksanti. Eksanti meminta maaf
kepadaku, menyadari kalau aku
kecewa dengan pernyataannya.
Aku merasa sudah tidak
mungkin bisa untuk melanjutkan
permainan cinta lagi. Aku
akhirnya meminta ijin kepada
Eksanti untuk mandi. Sungguh,..
aku merasa kecewa sekali.
Di dalam kamar mandi, aku lama
terdiam. Aku memandang
tubuhku di depan cermin.
Kemudian aku guyur tubuhku
dengan air yang mengalir deras
dari shower di atas kepalaku.
Aku ingin mendinginkan suhu
tubuhku. Tiba-tiba, aku
merasakan ada orang lain yang
memelukku dari arah belakang.
Aku terkejut, namun cuma
sesaat setelah menyadari,
ternyata Eksantilah yang ada di
belakangku. Dia tersenyum
memandangku.
"Ecchh.. kamu Santi, jangan
deket-deket acchh.., aku masih
kesel nih!!", gumamku berpura-
pura sambil mencoba membalas
senyumannya.
"Aku ingin mandi bersamamu,
Mas,.. boleh?", pintanya manja.
Aku tidak menjawab
permintaannya. Aku langsung
menarik tubuhnya untuk
berhadapan denganku. Masih di
bawah guyuran air yang
mengalir dari shower, aku
menangkap lengannya, lalu
memandang tajam ke arahnya.
Berulang kali tanganku mencoba
mengusap wajah cantik
sensualnya dari guyuran air.
Rambutnya yang basah semakin
menambah keerotisan
wajahnya.
Dengan perlahan tanganku
menangkap payudaranya dan
mengusap, meremas kuat.
Eksanti meringis. Bukannya
melarang, Eksanti malah
mengambil sabun, dan mulai
menyabuni tubuhku. Mula-mula
dari dada, ke belakang
punggung lalu menuju ke
bawah, ke batang
kejantananku. Aku merasa aneh
atas sikapnya yang berubah-
ubah dan suka menggoda.
Diusapnya lembut batang
kejantananku yang sedikit demi
sedikit mulai mengeras kembali.
Tangannya yang penuh dengan
busa sabun, begitu lembut
mengocok batang kejantananku
sehingga aku merasa sangat
nikmat. Aku tidak tinggal diam,
aku membalas menyabuni
sekujur tubuh Eksanti. Aku
mengikuti setiap gerakan yang
dibuatnya terhadap tubuhku
lalu aku mempraktekkan
kepadanya. Aku membalikkan
tubuh Eksanti, sehingga kini ia
membelakangiku. Sengaja aku
memposisikan tubuhnya berada
di depanku, agar aku dapat
melihat bagian depan tubuhnya
pada permukaan cermin di
depannya. Aku melihat ekspressi
wajah Eksanti pada permukaan
cermin.
Mata kami beradu pandang,
sementara tanganku membelai-
belai payudaranya yang mulai
mengeras. Aku mempermainkan
puncak-puncak putungnya
dengan jemariku, sementara
tanganku yang satunya mulai
meraba bulu-bulu lebat di
sekitar liang kewanitaan
Eksanti. Dengan sedikit
membungkukkan tubuh, aku
meraba permukaan bibir
kewanitaan Eksanti. Jari
tengahku mempermainkan
klitorisnya yang mengeras
terkena siraman air. Batang
kejantananku yang kini sudah
siap tempur, berada dalam
genggaman tangan Eksanti.
Sementara aku merasakan,
celah kewanitaan Eksanti juga
sudah mulai mengeluarkan
cairan cinta yang meleleh
melewati jemari tanganku yang
kini sedang menyusuri lorong di
dalamnya.
Aku membalikkan tubuh Eksanti
kembali, sehingga kini posisinya
berhadap-hadapan denganku.
Aku memeluk tubuh Eksanti
sehingga batang kejantananku
menyentuh pusarnya. Tanganku
membelai punggungnya, lalu
turun meraba bukit-bukit
pantatnya yang membulat
indah. Eksanti membalas
pelukanku dengan melingkarkan
tangannya di pundakku. Kedua
telapak tanganku meraih
pantat Eksanti. Aku meremas
dengan sedikit agak kasar, lalu
aku mengangkat agak ke atas,
agar batang kejantananku
berada tepat di depan gerbang
kewanitaannya.
Kaki Eksanti kini tak lagi
menyentuh permukaan lantai
kamar mandi. Kaki Eksanti
dengan sendirinya
mengangkang ketika aku
mengangkat pantatnya. Meski
agak susah namun aku tetap
berusaha agar batang
kejantananku bisa masuk
merasakan jepitan liang
kewanitaan Eksanti. Aku
merasakan kepala
kejantananku sudah menyentuh
bibir kewanitaan Eksanti. Aku
menekan perlahan, seiring
dengan menarik buah
pantatnya ke arah tubuhku.
Eksanti menggeliat. Aku merasa
kesulitan untuk memasukkan
batang batang kejantananku
ke dalam liang kewanitaan
Eksanti, karena kejantananku
yang terus-terusan basah
terkena air shower.
Akhirnya, aku mengangkat
tubuh Eksanti ke luar dari
kamar mandi. Bagaimanapun
juga aku tidak boleh menyia-
nyiakan kesempatan ini, apalagi
terbukti tadi, Eksanti hanya
diam saja ketika aku berusaha
menyusupkan batang
kejantananku ke liang
senggamanya. Pada saat aku
membawanya menuju tempat
tidur, Eksanti melingkarkan
kedua kakinya di pinggangku.
Aku membaringkan tubuhnya di
atas kasur. Lalu, denhan hati-
hati tubuhku menyusul menimpa
ke atas tubuhnya. Kami tidak
mempedulikan butiran-butiran
air yang masih menempel di
sekujur tubuh kami, sehingga
membasahi permukaan kasur.
Aku menciumi lagi lehernya yang
jenjang lalu turun melumat
puting payudaranya. Telapak
tanganku terus membelai dan
meremasi setiap lekuk dan
tonjolan tubuh Eksanti. Aku
kembali melebarkan kedua
pahanya, sambil mengarahkan
batang kejantananku ke bibir
kewanitaan Eksanti. Eksanti
mengerang lirih. Matanya
perlahan terpejam. Giginya
menggigit bibir bawahnya untuk
menahan laju birahinya yang
semakin kuat. Aku menatap
mata Eksanti penuh hasrat
nafsu. Bola matanya seakan
memohon kepadaku untuk
segera memasuki tubuhnya.
"Aku ingin bercinta denganmu,
Santi", bisikku pelan, sementara
kepala kejantananku masih
menempel di belahan liang
kewanitaan Eksanti. Kata-
kataku yang terakhir ini
ternyata membuat wajah
Eksanti memerah. Mungkin,
ketika bersama Yoga, dia
jarang mendengar permintaan
yang terlalu to the point
begitu. Aku bisa memastikan,
Eksanti agak malu
mendengarnya.
Aku berhenti sesaat untuk
menunggu jawaban
permohonanku kepadanya,
karena bagaimana pun aku
tidak mau melakukan
persetubuhan tanpa
memperoleh persetujuan
darinya. Aku bukan tipe laki-laki
yang demikian. Bagiku
berpaducinta adalah
kesepakatan, sepakat
berdasarkan kesadaran tanpa
adanya unsur pemaksaan.
Eksanti menatapku sendu lalu
mengangguk pelan sebelum
memejamkan matanya. Bukan
main rasa senangnya hatiku.
Akhirnya.. "..yes!". Aku berjanji
akan memperlakukannya
dengan hati-hati sekali, begitu
yang ada dalam fikiranku.
Kini aku berkonsentrasi penuh
dengan menuntun batang
kejantananku yang perlahan
mulai menyusup melesak ke
dalam liang kewanitaan Eksanti.
Mula-mula terasa seret
memang, namun aku malah
semakin menyukainya. Perlahan
namun pasti, kepala
kejantananku membelah liang
kewanitaannya yang ternyata
begitu kencang menjepit batang
kejantananku. Dinding dalam
kewanitaan Eksanti ternyata
sudah begitu licin, sehingga
agak memudahkan
kejantananku untuk menyusup
lebih ke dalam lagi. Eksanti
memeluk erat tubuhku sambil
membenamkan kuku-kukunya di
punggungku, hingga aku agak
kesakitan. Namun aku tak
peduli.
"Mas, gede banget, occhh..",
Eksanti menjerit lirih. Tangannya
turun menangkap batang
kejantananku.
"Pelan maas..", ujarnya berulang
kali, padahal aku merasa aku
sudah melakukannya dengan
begitu pelan dan hati-hati.
Mungkin karena lubang
kewanitaannya tidak pernah
lagi dimasuki batang kemaluan
seperti milikku ini. Soalnya aku
tahu pasti ukuran kejantanan
Yoga, pacar Eksanti tidaklah
sebesar yang aku miliki.
Makanya Eksanti agak merasa
kesakitan.
Akhirnya batang kejantananku
terbenam juga di dalam
kewanitaan Eksanti. Aku
berhenti sejenak untuk
menikmati denyutan-denyutan
yang timbul akibat kontraksi
otot-otot dinding kewanitaan
Eksanti. Denyutan itu begitu
kuat, sampai-sampai aku
memejamkan mata untuk
merasakan kenikmatan yang
begitu sempurna. Aku melumat
bibir Eksanti sambil perlahan-
lahan menarik batang
kejantananku,.. untuk
selanjutnya aku benamkan lagi,
masuk.., keluar.., masuk.., keluar..
Aku meminta Eksanti untuk
membuka kelopak matanya.
Eksanti menurut. Aku sangat
senang melihat matanya yang
semakin sayu menikmati batang
kejantananku yang keluar
masuk di dalam kewanitaannya.
"Aku suka kewanitaanmu, Santi,
kewanitaanmu masih tetap
rapet, Eyang", ujarku sambil
merintih keenakan. Sungguh,
liang kewanitaan Eksanti masih
terasa enak sekali.
"Icchh.. Mas ngomongnya
sekarang vulgar banget",
balasnya sambil tersipu malu,
lalu ia mencubit pinggangku.
"Tapi enak Ekan, Eyang?",
tanyaku, yang dijawab Eksanti
dengan sebuah anggukan kecil.
Aku meminta Eksanti untuk
menggoyangkan pinggulnya.
Eksanti langsung mengimbangi
gerakanku yang naik turun
dengan goyangan memutar
pada pinggangnya.
"Suka batang kejantananku,
Santi?", tanyaku lagi. Eksanti
hanya tersenyum. Batang
kejantananku terasa seperti
diremas-reMas. Masih ditambah
lagi dengan jepitan liang
senggamanya yang sepertinya
punya kekuatan magis untuk
menyedot meluluh lantakkan
otot-otot kejantananku.
"Makin pintar saja dia
menggoyang", batinku dalam
hati.
"Occhh..", aku menjerit panjang.
Rasanya begitu nikmat. Aku
mencoba mengangkat dadaku,
membuat jarak dengan
dadanya, dengan bertumpu
pada kedua tanganku. Dengan
demikian aku semakin bebas
dan leluasa untuk mengeluar-
masukkan batang kejantananku
ke dalam liang senggama
Eksanti. Aku memperhatikan
dengan seksama kejantananku
yang keluar masuk lincah di
sana. Dengan posisi seperti ini
aku merasa begitu jantan.
Eksanti semakin melebarkan
kedua pahanya, sementara
tangannya melingkar erat di
pinggangku. Gerakan naik
turunku semakin cepat
mengimbangi goyangan pinggul
Eksanti yang semakin tidak
terkendali.
"Santii.. enak banget, Eyang,
kamu makin pintar, Eyang..",
ucapku merasa keenakan.
"Kamu juga, Mas.., Santi juga
enakk..", , jawabnya agak malu-
malu.
Eksanti merintih dan
mengeluarkan erangan-erangan
kenikmatan. Berulang kali
mulutnya mengeluarkan kata-
kata, "aduh..occhh..", yang
diucapkan terputus-putus. Aku
merasakan liang senggama
Eksanti semakin berdenyut
sebagai pertanda Eksanti akan
mencapai puncak pendakiannya.
Aku juga merasakan hal yang
sama dengannya. Namun aku
mencoba bertahan dengan
menarik nafas dalam-dalam, lalu
menghembuskannya pelan-
pelan, untuk menurunkan daya
rangsangan yang aku alami. Aku
tidak ingin segera menyudahi
permainan ini dengan tergesa-
gesa.
Aku mempercepat goyanganku
ketika aku menyadari Eksanti
hampir mencapai orgasmenya.
Aku meremas payudaranya
kuat-kuat, seraya mulutku
menghisap dan menggigiti puting
susu Eksanti. Aku menghisap
dalam-dalam.
"Occhh.. Mas..", jerit Eksanti
panjang.
Aku membenamkan batang
kejantananku kuat-kuat ke
liang senggamanya hingga
mencapai dasar rongga yang
terdalam. Eksanti mendapatkan
kenikmatan yang sempurna.
Tubuhnya melengkung indah
dan untuk beberapa saat
lamanya tubuhnya mengejang.
Kepalaku ditarik kuat-kuat
hingga terbenam di antara dua
bukit payudaranya. Pada saat
tubuhnya menghentak-hentak,
ternyata aku merasa tidak
sanggup lagi untuk bertahan
lebih lama.
"Saanntii.. aakuu.. mau keluaarr..
saayang.. occhh.. hh..", jeritku.
Aku ingin menarik keluar batang
kejantananku dari dalam liang
senggamanya. Namun Eksanti
masih ingin tetap merasakan
orgasmenya, sehingga tubuhku
serasa dikunci oleh kakinya
yang melingkar di pinggangku.
Saat itu juga aku merasa
hampir saja memuntahkan
cairan hangat dari ujung
kejantananku yang hampir
meledak. Aku merasakan
tubuhku bagaikan layang-
layang putus yang melayang
terbang, tidak berbobot. Aku
tidak sempat menarik keluar
batang kejantananku lagi,
karena secara spontan Eksanti
juga menarik pantatku kuat ke
tubuhnya, berulang kali.
Mulutku yang berada di belahan
dada Eksanti menghisap kuat
kulit putihnya, sehingga
meninggalkan bekas merah
pada disana. Telapak tanganku
mencengkram buah dada
Eksanti. Aku meraup semuanya,
sampai-sampai Eksanti merasa
agak kesakitan. Aku tak peduli
lagi. Hingga akhirnya.. plash..
plash.. plash.. (8X), spermaku
akhirnya muncrat membasahi
lubang sorganya. Aku
merasakan nikmat yang tiada
duanya ditambah dengan
goyangan pinggul Eksanti pada
saat aku mengalami orgasme.
Tubuhku akhirnya lunglai tak
berdaya di atas tubuh Eksanti.
Batang kejantananku masih
berada di dalam liang
kenikmatan Eksanti. Eksanti
mengusap-usap permukaan
punggungku.
"Kamu menyesal, Santi?",
ujarku sambil mencium pipinya.
Eksanti menggeleng pelan sambil
membalas membelai rambutku.
Aku tersenyum kepadanya.
Eksanti membalas.
Aku meyandarkan kepalaku di
dadanya. Jam telah
menunjukkan pukul 21:00 dan
aku mesti cepat pulang ke
rumah, karena tadi aku tidak
sempat membuat alasan untuk
pulang terlambat. Begitu pula
dengan Eksanti, yang saat itu
telah memiliki kebiasan baru
selayaknya calon pasangan
suami istri, yaitu makan malam
bersama Yoga di rumah kost
mereka.
Sebelum berpisah, kami
berciuman untuk beberapa
saat. itu adalah ciuman kami
yang terakhir.., percintaan kami
yang terakhir.., sebelum
akhirnya Yoga menikahi Eksanti,
2 bulan kemudian.
« index cerita
« ramon84.net
(c) 2012 ramon84.net
Curup - Bengkulu
ramon84.net
Posting Komentar